Pages

Monday, January 26, 2009

Laila Majnun-sebuah kisah cinta sejati; karya ahli sufi



menonton drama siri lagenda 'Laila Majnun' buat saya teruja untuk mengetahui kisah cinta agung yang masih disebut sejak zaman-berzaman. Anehnya, nama watak 'Majnun' yang digunakan, entah memang disengajakan atau tidak disedari, saya tidak pasti. Namun, seperti hebatnya dan 'evergreen'nya kisah Romeo and Juliet karya William Shakespeare, Laila Majnun lebih dahulu mengutarakan tema cinta sejati yang tidak kesampaian. Maka, dengan rasa ingin tahu yang membuak-buak saya mem'browse' internet mencari kisah Laila Majnun yang asli. Di bawah adalah hasil yang saya peroleh dari sebuah blog. Selamat menghayati sebuah kisah cinta sejati...........




Alkisah, seorang kepala suku Bani Umar di Jazirah Arab memiIiki segala macam yang diinginkan orang, kecuali satu hal bahwa ia tak punya seorang anakpun. Tabib-tabib di desa itu menganjurkan berbagai macam ramuan dan obat, tetapi tidak berhasil. Ketika semua usaha tampak tak berhasil, istrinya menyarankan agar mereka berdua bersujud di hadapan Tuhan dan dengan tulus memohon kepada Allah swt memberikan anugerah kepada mereka berdua. “Mengapa tidak?” jawab sang kepala suku. “Kita telah mencoba berbagai macam cara. Mari, kita coba sekali lagi, tak ada ruginya.”



Mereka pun bersujud kepada Tuhan, sambil berurai air mata dari relung hati mereka yang terluka. “Wahai Segala Kekasih, jangan biarkan pohon kami tak berbuah. Izinkan kami merasakan manisnya menimang anak dalam pelukan kami. Anugerahkan kepada kami tanggung jawab untuk membesarkan seorang manusia yang baik. Berikan kesempatan kepada kami untuk membuat-Mu bangga akan anak kami.”



Tak lama kemudian, doa mereka dikabulkan, dan Tuhan menganugerahi mereka seorang anak laki-laki yang diberi nama Qais. Sang ayah sangat berbahagia, sebab Qais dicintai oleh semua orang. Ia tampan, bermata besar, dan berambut hitam, yang menjadi pusat perhatian dan kekaguman. Sejak awal, Qais telahmemperlihatkan kecerdasan dan kemampuan fisik istimewa. Ia punya bakat luar biasa dalam mempelajari seni berperang dan memainkan musik, menggubah syair dan melukis.



Ketika sudah cukup umur untuk masuk sekolah, ayahnya memutuskan membangun sebuah sekolah yang indah dengan guru-guru terbaik di Arab yang mengajar di sana , dan hanya beberapa anak saja yang belajar di situ. Anak-anak lelaki dan perempuan dan keluarga terpandang di seluruh jazirah Arab belajar di sekolah baru ini.



Di antara mereka ada seorang anak perempuan dari kepala suku tetangga. Seorang gadis bermata indah, yang memiliki kecantikan luar biasa. Rambut dan matanya sehitam malam; karena alasan inilah mereka menyebutnya Laila-”Sang Malam”. Meski ia baru berusia dua belas tahun, sudah banyak pria melamarnya untuk dinikahi, sebab-sebagaimana lazimnya kebiasaan di zaman itu, gadis-gadis sering dilamar pada usia yang masih sangat muda, yakni sembilan tahun.



Laila dan Qais adalah teman sekelas. Sejak hari pertama masuk sekolah, mereka sudah saling tertarik satu sama lain. Seiring dengan berlalunya waktu, percikan ketertarikan ini makin lama menjadi api cinta yang membara. Bagi mereka berdua, sekolah bukan lagi tempat belajar. Kini, sekolah menjadi tempat mereka saling bertemu. Ketika guru sedang mengajar, mereka saling berpandangan. Ketika tiba
waktunya menulis pelajaran, mereka justru saling menulis namanya di atas kertas. Bagi mereka berdua, tak ada teman atau kesenangan lainnya. Dunia kini hanyalah milik Qais dan Laila.



Mereka buta dan tuli pada yang lainnya. Sedikit demi sedikit, orang-orang mulai mengetahui cinta mereka, dan gunjingan-gunjingan pun mulai terdengar. Di zaman itu, tidaklah pantas seorang gadis dikenal sebagai sasaran cinta seseorang dan sudah pasti mereka tidak akan menanggapinya. Ketika orang-tua Laila mendengar bisik-bisik tentang anak gadis mereka, mereka pun melarangnya pergi ke sekolah. Mereka tak sanggup lagi menahan beban malu pada masyarakat sekitar.



Ketika Laila tidak ada di ruang kelas, Qais menjadi sangat gelisah sehingga ia meninggalkan sekolah dan menyelusuri jalan-jalan untuk mencari kekasihnya dengan memanggil-manggil namanya. Ia menggubah syair untuknya dan membacakannya di jalan-jalan. Ia hanya berbicara tentang Laila dan tidak juga menjawab pertanyaan orang-orang kecuali bila mereka bertanya tentang Laila. Orang-orang pun tertawa dan berkata, ” Lihatlah Qais , ia sekarang telah menjadi seorang majnun, gila!”



Akhirnya, Qais dikenal dengan nama ini, yakni “Majnun”. Melihat orang-orang dan mendengarkan mereka berbicara membuat Majnun tidak tahan. Ia hanya ingin melihat dan berjumpa dengan Laila kekasihnya. Ia tahu bahwa Laila telah dipingit oleh orang tuanya di rumah, yang dengan bijaksana menyadari bahwa jika Laila dibiarkan bebas bepergian, ia pasti akan menjumpai Majnun. Majnun menemukan sebuah tempat di puncak bukit dekat desa Laila dan membangun sebuah gubuk untuk dirinya yang menghadap rumah Laila. Sepanjang hari Majnun duduk-duduk di depan gubuknya, disamping sungai kecil berkelok yang mengalir ke bawah menuju desa itu. Ia berbicara kepada air, menghanyutkan dedaunan bunga liar, dan Majnun merasa yakin bahwa sungai itu akan menyampaikan pesan cintanya kepada Laila. Ia menyapa burung-burung dan meminta mereka untuk terbang kepada Laila serta memberitahunya bahwa ia dekat.



Ia menghirup angin dari barat yang melewati desa Laila. Jika kebetulan ada seekor anjing tersesat yang berasal dari desa Laila, ia pun memberinya makan dan merawatnya, mencintainya seolah-olah anjing suci, menghormatinya dan menjaganya sampai tiba saatnya anjing itu pergi jika memang mau demikian. Segala sesuatu yang berasal dari tempat kekasihnya dikasihi dan disayangi sama seperti kekasihnya sendiri.



Bulan demi bulan berlalu dan Majnun tidak menemukan jejak Laila. Kerinduannya kepada Laila demikian besar sehingga ia merasa tidak bisa hidup sehari pun tanpa melihatnya kembali. Terkadang sahabat-sahabatnya di sekolah dulu datang mengunjunginya, tetapi ia berbicara kepada mereka hanya tentang Laila, tentang betapa ia sangat kehilangan dirinya.



Suatu hari, tiga anak laki-laki, sahabatnya yang datang mengunjunginya demikian terharu oleh penderitaan dan kepedihan Majnun sehingga mereka bertekad embantunya untuk berjumpa kembali dengan Laila. Rencana mereka sangat cerdik. Esoknya, mereka dan Majnun mendekati rumah Laila dengan menyamar sebagai wanita. Dengan mudah mereka melewati wanita-wanita pembantu dirumah Laila dan berhasil masuk ke pintu kamarnya.



Majnun masuk ke kamar, sementara yang lain berada di luar berjaga-jaga. Sejak ia berhenti masuk sekolah, Laila tidak melakukan apapun kecuali memikirkan Qais. Yang cukup mengherankan, setiap kali ia mendengar burung-burung berkicau dari jendela atau angin berhembus semilir, ia memejamkan.matanya sembari membayangkan bahwa ia mendengar suara Qais didalamnya. Ia akan mengambil dedaunan dan bunga yang dibawa oleh angin atau sungai dan tahu bahwa semuanya itu berasal dari Qais. Hanya saja, ia tak pernah berbicara kepada siapa pun, bahkan juga kepada sahabat-sahabat terbaiknya, tentang cintanya.



Pada hari ketika Majnun masuk ke kamar Laila, ia merasakan kehadiran dan kedatangannya. Ia mengenakan pakaian sutra yang sangat bagus dan indah. Rambutnya dibiarkan lepas tergerai dan disisir dengan rapi di sekitar bahunya. Matanya diberi celak hitam, sebagaimana kebiasaan wanita Arab, dengan bedak hitam yang disebut surmeh. Bibirnya diberi lipstick merah, dan pipinya yang kemerah-merahan tampak menyala serta menampakkan kegembiraannya. Ia duduk di depan pintu dan menunggu.



Ketika Majnun masuk, Laila tetap duduk. Sekalipun sudah diberitahu bahwa Majnun akan datang, ia tidak percaya bahwa pertemuan itu benar-benar terjadi. Majnun berdiri di pintu selama beberapa menit, memandangi, sepuas-puasnya wajah Laila. Akhirnya, mereka bersama lagi! Tak terdengar sepatah kata pun, kecuali
detak jantung kedua orang yang dimabuk cinta ini. Mereka saling berpandangan dan lupa waktu.



Salah seorang wanita pembantu di rumah itu melihat sahabat-sahabat Majnun di luar kamar tuan putrinya. Ia mulai curiga dan memberi isyarat kepada salah seorang pengawal. Namun, ketika ibu Laila datang menyelidiki, Majnun dan kawan-kawannya sudah jauh pergi. Sesudah orang-tuanya bertanya kepada Laila,
maka tidak sulit bagi mereka mengetahui apa yang telah terjadi. Kebisuan dan kebahagiaan yang terpancar dimatanya menceritakan segala sesuatunya.



Sesudah terjadi peristiwa itu, ayah Laila menempatkan para pengawal di setiap pintu di rumahnya. Tidak ada jalan lain bagi Majnun untuk menghampiri rumah Laila, bahkan dari kejauhan sekalipun. Akan tetapi jika ayahnya berpikiran bahwa, dengan bertindak hati-hati ini ia bisa mengubah perasaan Laila dan Majnun, satu sama
lain, sungguh ia salah besar.



Ketika ayah Majnun tahu tentang peristiwa di rumah Laila, ia memutuskan untuk mengakhiri drama itu dengan melamar Laila untuk anaknya. Ia menyiapkan sebuah kafilah penuh dengan hadiah dan mengirimkannya ke desa Laila. Sang tamu pun disambut dengan sangat baik, dan kedua kepala suku itu berbincang-bincang tentang kebahagiaan anak-anak mereka. Ayah Majnun lebih dulu berkata, “Engkau tahu benar, kawan, bahwa ada dua hal yang sangat penting bagi kebahagiaan, yaitu “Cinta dan Kekayaan”.



Anak lelakiku mencintai anak perempuanmu, dan aku bisa memastikan bahwa aku sanggup memberi mereka cukup banyak uang untuk mengarungi kehidupan yang bahagia dan menyenangkan. Mendengar hal itu, ayah Laila pun menjawab, “Bukannya aku menolak Qais. Aku percaya kepadamu, sebab engkau pastilah seorang mulia dan
terhormat,” jawab ayah Laila. “Akan tetapi, engkau tidak bisa menyalahkanku kalau aku berhati-hati dengan anakmu. Semua orang tahu perilaku abnormalnya. Ia berpakaian seperti seorang pengemis. Ia pasti sudah lama tidak mandi dan iapun hidup bersama hewan-hewan dan menjauhi orang banyak. “Tolong katakan
kawan, jika engkau punya anak perempuan dan engkau berada dalam posisiku, akankah engkau memberikan anak perempuanmu kepada anakku?”



Ayah Qais tak dapat membantah. Apa yang bisa dikatakannya? Padahal, dulu anaknya adalah teladan utama bagi kawan-kawan sebayanya? Dahulu Qais adalah anak yang paling cerdas dan berbakat di seantero Arab? Tentu saja, tidak ada yang dapat dikatakannya. Bahkan, sang ayahnya sendiri susah untuk mempercayainya.
Sudah lama orang tidak mendengar ucapan bermakna dari Majnun. “Aku tidak akan diam berpangku tangan dan melihat anakku menghancurkan dirinya sendiri,” pikirnya. “Aku harus melakukan sesuatu.”



Ketika ayah Majnun kembali pulang, ia menjemput anaknya, Ia mengadakan pesta makan malam untuk menghormati anaknya. Dalam jamuan pesta makan malam itu, gadis-gadis tercantik di seluruh negeri pun diundang. Mereka pasti bisa mengalihkan perhatian Majnun dari Laila, pikir ayahnya. Di pesta itu, Majnun
diam dan tidak mempedulikan tamu-tamu lainnya. Ia duduk di sebuah sudut ruangan sambil melihat gadis-gadis itu hanya untuk mencari pada diri mereka berbagai kesamaan dengan yang dimiliki Laila.



Seorang gadis mengenakan pakaian yang sama dengan milik Laila; yang lainnya punya rambut panjang seperti Laila, dan yang lainnya lagi punya senyum mirip Laila. Namun, tak ada seorang gadis pun yang benar-benar mirip dengannya,Malahan, tak ada seorang pun yang memiliki separuh kecantikan Laila. Pesta itu hanya menambah kepedihan perasaan Majnun saja kepada kekasihnya. Ia pun berang dan marah serta menyalahkan setiap orang di pesta itu lantaran berusaha mengelabuinya.



Dengan berurai air mata, Majnun menuduh orang-tuanya dan sahabat-sahabatnya sebagai berlaku kasar dan kejam kepadanya. Ia menangis sedemikian hebat hingga akhirnya jatuh ke lantai dalam keadaan pingsan. Sesudah terjadi petaka ini, ayahnya memutuskan agar Qais dikirim untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah
dengan harapan bahwa Allah akan merahmatinya dan membebaskannya dari cinta yang menghancurkan ini.



Di Makkah, untuk menyenangkan ayahnya, Majnun bersujud di depan altar Kabah, tetapi apa yang ia mohonkan? “Wahai Yang Maha Pengasih, Raja Diraja Para Pecinta, Engkau yang menganugerahkan cinta, aku hanya mohon kepada-Mu satu hal saja,”Tinggikanlah cintaku sedemikian rupa sehingga, sekalipun aku binasa,
cintaku dan kekasihku tetap hidup.” Ayahnya kemudian tahu bahwa tak ada lagi yang bisa ia lakukan untuk anaknya.



Usai menunaikan ibadah haji, Majnun yang tidak mau lagi bergaul dengan orang banyak di desanya, pergi ke pegunungan tanpa memberitahu di mana ia berada. Ia tidak kembali ke gubuknya. Alih-alih tinggal dirumah, ia memilih tinggal direruntuhan sebuah bangunan tua yang terasing dari masyarakat dan tinggal didalamnya. Sesudah itu, tak ada seorang pun yang mendengar kabar tentang Majnun. Orang-tuanya mengirim segenap sahabat dan keluarganya untuk mencarinya. Namun, tak seorang pun berhasil menemukannya. Banyak orang berkesimpulan bahwa Majnun dibunuh oleh binatang-binatang gurun sahara. Ia bagai hilang ditelan bumi.



Suatu hari, seorang musafir melewati reruntuhan bangunan itu dan melihat ada sesosok aneh yang duduk di salah sebuah tembok yang hancur. Seorang liar denganrambut panjang hingga ke bahu, jenggotnya panjang dan acak-acakan, bajunya compang-camping dan kumal. Ketika sang musafir mengucapkan salam dan tidak
beroleh jawaban, ia mendekatinya. Ia melihat ada seekor serigala tidur di kakinya. “Hus” katanya, ‘Jangan bangunkan sahabatku.” Kemudian, ia mengedarkan pandangan ke arah kejauhan.



Sang musafir pun duduk di situ dengan tenang. Ia menunggu dan ingin tahu apa yang akan terjadi. Akhimya, orang liar itu berbicara. Segera saja ia pun tahu bahwa ini adalah Majnun yang terkenal itu, yang berbagai macam perilaku anehnya dibicarakan orang di seluruh jazirah Arab. Tampaknya, Majnun tidak kesulitan menyesuaikan diri dengan kehidupan dengan binatang-binatang buas dan liar. Dalam kenyataannya, ia sudah menyesuaikan diri dengan sangat baik sehingga lumrah-lumrah saja melihat dirinya sebagai bagian dari kehidupan liar dan buas itu.



Berbagai macam binatang tertarik kepadanya, karena secara naluri mengetahui bahwa Majnun tidak akan mencelakakan mereka. Bahkan, binatang-binatang buas seperti serigala sekalipun percaya pada kebaikan dan kasih sayang Majnun. Sang musafir itu mendengarkan Majnun melantunkan berbagai kidung pujiannya pada
Laila. Mereka berbagi sepotong roti yang diberikan olehnya. Kemudian, sang musafir itu pergi dan melanjutkan petjalanannya.



Ketika tiba di desa Majnun, ia menuturkan kisahnya pada orang-orang. Akhimya, sang kepala suku, ayah Majnun, mendengar berita itu. Ia mengundang sang musafir ke rumahnya dan meminta keteransran rinci darinya. Merasa sangat gembira dan bahagia bahwa Majnun masih hidup, ayahnya pergi ke gurun sahara untuk menjemputnya.



Ketika melihat reruntuhan bangunan yang dilukiskan oleh sang musafir itu, ayah Majnun dicekam oleh emosi dan kesedihan yang luar biasa. Betapa tidak! Anaknya terjerembab dalam keadaan mengenaskan seperti ini. “Ya Tuhanku, aku mohon agar Engkau menyelamatkan anakku dan mengembalikannya ke keluarga kami,” jerit sang
ayah menyayat hati. Majnun mendengar doa ayahnya dan segera keluar dari tempat persembunyiannya. Dengan bersimpuh dibawah kaki ayahnya, ia pun menangis, “Wahai ayah, ampunilah aku atas segala kepedihan yang kutimbulkan pada dirimu. Tolong lupakan bahwa engkau pernah mempunyai seorang anak, sebab ini akan meringankan beban kesedihan ayah. Ini sudah nasibku mencinta, dan hidup hanya untuk mencinta.” Ayah dan anak pun saling berpelukan dan menangis. Inilah pertemuan terakhir mereka.



Keluarga Laila menyalahkan ayah Laila lantaran salah dan gagal menangani situasi putrinya. Mereka yakin bahwa peristiwa itu telah mempermalukan seluruh keluarga. Karenanya, orangtua Laila memingitnya dalam kamamya. Beberapa sahabat Laila diizinkan untuk mengunjunginya, tetapi ia tidak ingin ditemani. Ia berpaling kedalam hatinya, memelihara api cinta yang membakar dalam kalbunya. Untuk mengungkapkan segenap perasaannya yang terdalam, ia menulis dan menggubah syair kepada kekasihnya pada potongan-potongan kertas kecil. Kemudian, ketika ia diperbolehkan menyendiri di taman, ia pun menerbangkan potongan-potongan kertas
kecil ini dalam hembusan angin. Orang-orang yang menemukan syair-syair dalam potongan-potongan kertas kecil itu membawanya kepada Majnun. Dengan cara demikian, dua kekasih itu masih bisa menjalin hubungan.



Karena Majnun sangat terkenal di seluruh negeri, banyak orang datang mengunjunginya. Namun, mereka hanya berkunjung sebentar saja, karena mereka tahu bahwa Majnun tidak kuat lama dikunjungi banyak orang. Mereka mendengarkannya melantunkan syair-syair indah dan memainkan serulingnya dengan sangat memukau.



Sebagian orang merasa iba kepadanya; sebagian lagi hanya sekadar ingin tahu tentang kisahnya. Akan tetapi, setiap orang mampu merasakan kedalaman cinta dan kasih sayangnya kepada semua makhluk. Salah seorang dari pengunjung itu adalah seorang ksatria gagah berani bernama ‘Amar, yang berjumpa dengan Majnun dalam
perjalanannya menuju Mekah. Meskipun ia sudah mendengar kisah cinta yang sangat terkenal itu di kotanya, ia ingin sekali mendengarnya dari mulut Majnun sendiri.



Drama kisah tragis itu membuatnya sedemikian pilu dan sedih sehingga ia bersumpah dan bertekad melakukan apa saja yang mungkin untuk mempersatukan dua kekasih itu, meskipun ini berarti menghancurkan orang-orang yang menghalanginya! Ketika Amr kembali ke kota kelahirannya, Ia pun menghimpun pasukannya. Pasukan
ini berangkat menuju desa Laila dan menggempur suku di sana tanpa ampun. Banyak orang yang terbunuh atau terluka.



Ketika pasukan ‘Amr hampir memenangkan pertempuran, ayah Laila mengirimkan pesan kepada ‘Amr, “Jika engkau atau salah seorang dari prajuritmu menginginkan putriku, aku akan menyerahkannya tanpa melawan. Bahkan, jika engkau ingin membunuhnya, aku tidak keberatan. Namun, ada satu hal yang tidak akan pernah
bisa kuterima, jangan minta aku untuk memberikan putriku pada orang gila itu”. Majnun mendengar pertempuran itu hingga ia bergegas kesana. Di medan pertempuran, Majnun pergi ke sana kemari dengan bebas di antara para prajurit dan menghampiri orang-orang yang terluka dari suku Laila. Ia merawat mereka dengan penuh perhatian dan melakukan apa saja untuk meringankan luka mereka.



Amr pun merasa heran kepada Majnun, ketika ia meminta penjelasan ihwal mengapa ia membantu pasukan musuh, Majnun menjawab, “Orang-orang ini berasal dari desa kekasihku. Bagaimana mungkin aku bisa menjadi musuh mereka?” Karena sedemikian bersimpati kepada Majnun, ‘Amr sama sekali tidak bisa memahami hal ini. Apa yang dikatakan ayah Laila tentang orang gila ini akhirnya membuatnya sadar. Ia pun memerintahkan pasukannya untuk mundur dan segera meninggalkan desa itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun kepada Majnun.



Laila semakin merana dalam penjara kamarnya sendiri. Satu-satunya yang bisa ia nikmati adalah berjalan-jalan di taman bunganya. Suatu hari, dalam perjalanannya menuju taman, Ibn Salam, seorang bangsawan kaya dan berkuasa, melihat Laila dan serta-merta jatuh cinta kepadanya. Tanpa menunda-nunda lagi, ia segera mencari
ayah Laila. Merasa lelah dan sedih hati karena pertempuran yang baru saja menimbulkan banyak orang terluka di pihaknya, ayah Laila pun menyetujui perkawinan itu.



Tentu saja, Laila menolak keras. Ia mengatakan kepada ayahnya, “Aku lebih senang mati ketimbang kawin dengan orang itu.” Akan tetapi, tangisan dan permohonannya tidak digubris. Lantas ia mendatangi ibunya, tetapi sama saja keadaannya. Perkawinan pun berlangsung dalam waktu singkat. Orangtua Laila merasa lega bahwa seluruh cobaan berat akhirnya berakhir juga.



Akan tetapi, Laila menegaskan kepada suaminya bahwa ia tidak pernah bisa mencintainya. “Aku tidak akan pernah menjadi seorang istri,” katanya. “Karena itu, jangan membuang-buang waktumu. Carilah seorang istri yang lain. Aku yakin, masih ada banyak wanita yang bisa membuatmu bahagia.” Sekalipun mendengar kata-kata dingin ini, Ibn Salam percaya bahwa, sesudah hidup bersamanya beberapa waktu larnanya, pada akhirnya Laila pasti akan menerimanya. Ia tidak mau memaksa Laila, melainkan menunggunya untuk datang kepadanya.



Ketika kabar tentang perkawinan Laila terdengar oleh Majnun, ia menangis dan meratap selama berhari-hari. Ia melantunkan lagu-Iagu yang demikian menyayat hati dan mengharu biru kalbu sehingga semua orang yang mendengarnya pun ikut menangis. Derita dan kepedihannya begitu berat sehingga binatang-binatang yang
berkumpul di sekelilinginya pun turut bersedih dan menangis. Namun, kesedihannya ini tak berlangsung lama, sebab tiba-tiba Majnun merasakan kedamaian dan ketenangan batin yang aneh. Seolah-olah tak terjadi apa-apa, ia pun terus tinggal di reruntuhan itu. Perasaannya kepada Laila tidak berubah dan malah menjadi semakin lebih dalam lagi.



Dengan penuh ketulusan, Majnun menyampaikan ucapan selamat kepada Laila atas perkawinannya: “Semoga kalian berdua selalu berbahagia di dunia ini. Aku hanya meminta satu hal sebagai tanda cintamu, janganlah engkau lupakan namaku, sekalipun engkau telah memilih orang lain sebagai pendampingmu. Janganlah pernah lupa bahwa ada seseorang yang, meskipun tubuhnya hancur berkeping-keping, hanya akan memanggil-manggil namamu, Laila”.



Sebagai jawabannya, Laila mengirimkan sebuah anting-anting sebagai tanda pengabdian tradisional. Dalam surat yang disertakannya, ia mengatakan, “Dalam hidupku, aku tidak bisa melupakanmu barang sesaat pun. Kupendam cintaku demikian lama, tanpa mampu menceritakannya kepada siapapun. Engkau memaklumkan cintamu
ke seluruh dunia, sementara aku membakarnya di dalam hatiku, dan engkau membakar segala sesuatu yang ada di sekelilingmu” . “Kini, aku harus menghabiskan hidupku dengan seseorang, padahal segenap jiwaku menjadi milik orang lain. Katakan kepadaku, kasih, mana di antara kita yang lebih dimabuk cinta, engkau ataukah aku?.



Tahun demi tahun berlalu, dan orang-tua Majnun pun meninggal dunia. Ia tetap tinggal di reruntuhan bangunan itu dan merasa lebih kesepian ketimbang sebelumnya. Di siang hari, ia mengarungi gurun sahara bersama sahabat-sahabat binatangnya. Di malam hari, ia memainkan serulingnya dan melantunkan syair-syairnya kepada berbagai binatang buas yang kini menjadi satu-satunya pendengarnya. Ia menulis syair-syair untuk Laila dengan ranting di atas tanah. Selang beberapa lama, karena terbiasa dengan cara hidup aneh ini, ia mencapai kedamaian dan ketenangan sedemikian rupa sehingga tak ada sesuatu pun yang sanggup mengusik dan mengganggunya.



Sebaliknya, Laila tetap setia pada cintanya. Ibn Salam tidak pernah berhasil mendekatinya. Kendatipun ia hidup bersama Laila, ia tetap jauh darinya. Berlian dan hadiah-hadiah mahal tak mampu membuat Laila berbakti kepadanya. Ibn Salam sudah tidak sanggup lagi merebut kepercayaan dari istrinya. Hidupnya serasa
pahit dan sia-sia. Ia tidak menemukan ketenangan dan kedamaian di rumahnya. Laila dan Ibn Salam adalah dua orang asing dan mereka tak pernah merasakan hubungan suami istri. Malahan, ia tidak bisa berbagi kabar tentang dunia luar dengan Laila.



Tak sepatah kata pun pernah terdengar dari bibir Laila, kecuali bila ia ditanya. Pertanyaan ini pun dijawabnya dengan sekadarnya saja dan sangat singkat. Ketika akhirnya Ibn Salam jatuh sakit, ia tidak kuasa bertahan, sebab hidupnya tidak menjanjikan harapan lagi. Akibatnya, pada suatu pagi di musim panas, ia pun meninggal dunia. Kematian suaminya tampaknya makin mengaduk-ngaduk perasaan Laila. Orang-orang mengira bahwa ia berkabung atas kematian Ibn Salam, padahal sesungguhnya ia menangisi kekasihnya, Majnun yang hilang dan sudah lama dirindukannya.



Selama bertahun-tahun, ia menampakkan wajah tenang, acuh tak acuh, dan hanya sekali saja ia menangis. Kini, ia menangis keras dan lama atas perpisahannya dengan kekasih satu-satunya. Ketika masa berkabung usai, Laila kembali ke rumah ayahnya. Meskipun masih berusia muda, Laila tampak tua, dewasa, dan bijaksana, yang jarang dijumpai pada diri wanita seusianya. Semen tara api cintanya makin membara, kesehatan Laila justru memudar karena ia tidak lagi memperhatikan dirinya sendiri. Ia tidak mau makan dan juga tidak tidur dengan baik selama
bermalam-malam.



Bagaimana ia bisa memperhatikan kesehatan dirinya kalau yang dipikirkannya hanyalah Majnun semata? Laila sendiri tahu betul bahwa ia tidak akan sanggup bertahan lama. Akhirnya, penyakit batuk parah yang mengganggunya selama beberapa bulan pun menggerogoti kesehatannya. Ketika Laila meregang nyawa dan sekarat, ia masih memikirkan Majnun. Ah, kalau saja ia bisa berjumpa dengannya sekali lagi untuk terakhir kalinya! Ia hanya membuka matanya untuk memandangi pintu kalau-kalau kekasihnya datang. Namun, ia sadar bahwa waktunya sudah habis dan ia akan pergi tanpa berhasil mengucapkan salam perpisahan kepada Majnun. Pada suatu malam di musim dingin, dengan matanya tetap menatap pintu, ia pun meninggal dunia dengan tenang sambil bergumam, Majnun…Majnun. .Majnun.



Kabar tentang kematian Laila menyebar ke segala penjuru negeri dan, tak lama kemudian, berita kematian Lailapun terdengar oleh Majnun. Mendengar kabar itu, ia pun jatuh pingsan di tengah-tengah gurun sahara dan tetap tak sadarkan diri selama beberapa hari. Ketika kembali sadar dan siuman, ia segera pergi menuju desa Laila. Nyaris tidak sanggup berjalan lagi, ia menyeret tubuhnya di atas tanah. Majnun bergerak terus tanpa henti hingga tiba di kuburan Laila di luar kota . Ia berkabung dikuburannya selama beberapa hari.



Ketika tidak ditemukan cara lain untuk meringankan beban penderitaannya, per1ahan-lahan ia meletakkan kepalanya di kuburan Laila kekasihnya dan meninggal dunia dengan tenang. Jasad Majnun tetap berada di atas kuburan Laila selama setahun. Belum sampai setahun peringatan kematiannya ketika segenap sahabat dan
kerabat menziarahi kuburannya, mereka menemukan sesosok jasad terbujur di atas kuburan Laila. Beberapa teman sekolahnya mengenali dan mengetahui bahwa itu adalah jasad Majnun yang masih segar seolah baru mati kemarin. Ia pun dikubur di samping Laila. Tubuh dua kekasih itu, yang kini bersatu dalam keabadian, kini bersatu kembali.



Konon, tak lama sesudah itu, ada seorang Sufi bermimpi melihat Majnun hadir di hadapan Tuhan. Allah swt membelai Majnun dengan penuh kasih sayang dan mendudukkannya disisi-Nya.Lalu, Tuhan pun berkata kepada Majnun, “Tidakkah engkau malu memanggil-manggil- Ku dengan nama Laila, sesudah engkau meminum
anggur Cinta-Ku?”



Sang Sufi pun bangun dalam keadaan gelisah. Jika Majnun diperlakukan dengan sangat baik dan penuh kasih oleh Allah Subhana wa ta’alaa, ia pun bertanya-tanya, lantas apa yang terjadi pada Laila yang malang ? Begitu pikiran ini terlintas dalam benaknya, Allah swt pun mengilhamkan jawaban kepadanya, “Kedudukan Laila jauh lebih tinggi, sebab ia menyembunyikan segenap rahasia Cinta dalam dirinya sendiri.”



Wa min Allah at Tawfiq



Diambil dari Negeri Sufi ( Tales from The Land of Sufis )



Tentang Penulis Laila Majnun, Syaikh Sufi Mawlana Hakim Nizhami qs :



Syaikh Hakim Nizhami qs merupakan penulis sufi terkemuka diabad pertengahan karena dua roman cinta yang menyayat hati, yaitu Laila & Majnun serta Khusrau & Syirin. Kisah sedih Laila & Majnun , dimana Majnun yang berarti “Tergila-gila akan Cinta”, karena cintanya yang tak sampai pada Laila, akhirnya membuatnya gila. Kisah cinta ini dibaca selama berabad-abad, ratusan tahun jauh sebelum Romeo & Julietnya Wiliam Shakespeare sehingga Kisah Laila & Majnun terkenal sebagai kisah cintanya Persia .



Syaikh Nizhami qs adalah seorang Syaikh Sufi, dan yang dimaksud “kekasih” dalam berbagai kisahnya sesungguhnya adalah perwujudan Allah swt. Syaikh Nizhami hidup dari tahun 1155 M – 1223 M, beliau lahir dikota Ganje di Azerbaijan. Ia telah menempuh jalan sufi semenjak masa mudanya, dan ia diajar oleh Nabi Khidir as, Sang Pembimbing Misterius dan ia dilindungi 99 Nama Allah Yang Maha Indah ( Asmaul Husna).



Syaikh Nizhami qs sangat menguasai berbagai macam ilmu, seperti matematika, filsafat, Hukum Islam, dan kedokteran. Banyak karyanya merupakan pelajaran tersembunyi bagi pemeluk tariqah sufi dan penempuh jalan spiritual. Karya Syaikh Nizhami qs terkenal karena bahasanya yang halus. Karya Laila dan Majnun sebenarnya berbentuk sajak berirama sebanyak 4500 syair sajak, yang dikenal dengan sebutan Matsnawi. Sebagaimana lazimnya terjadi pada para Syaikh Sufi, yang tertinggal dari Syaikh Nizhami qs adalah ajaran-ajaran sufi yang sangat tinggi.




http://cepiar.wordpress.com/2007/11/06/kisah-cinta-sejati-pantas-untuk-jadi-pelajaran-hidup/




Friday, January 23, 2009

Israel....Gaza....apa perlu kita buat?



Hampir sebulan rasanya sejak serangan demi serangan yang dikenakan tentera zionis ke atas Gaza. Memang memilukan, saya seringkali mahu mengelak diri dari mengambil tahu kronologi serangan kejam itu. Sungguh, bagaimana mampu untuk hidup tenang, selasa juga mewah ketika saudara-saudara kita dizalimi tanpa belas kasihan. Kalau bukan kerana agama, sikap perikemanusiaan sesama manusia sudah cukup untuk menyentuh jiwa dan raga.


Maka, untuk hidup bahagia dan harmoni, tanpa rasa bimbang dan susah hati, saya cuba untuk mengambil sikap tidak ambil peduli. Teruk bukan? Saya yakin, ramai yang seperti saya. Rasa sensitiviti yang menebal dalam diri cuba dihakis. Sungguh, setiap manusia itu fitrah, namun, kerana hasutan syaitan dan hawa nafsu manusia melawan fitrah. Itulah yang cuba saya lakukan. Namun, kadan-kala Tuhan itu maha pengasih. Tidak selamanya dibiar hambanya terus dalam kesesatan.


Ini bukan isu dalam kampung yang boleh saya tutup telinga dan pejamkan mata. Tapi, ini isu dunia yang menerjah pendengaran juga penglihatan tanpa saya pinta. Dimana-mana orang bercerita dan berkata-kata. Bagaimana saya masih boleh terus berdiam diri dan berlagak tidak bersalah dalam kemelut krisis kemanusiaan yang kian meruncing ini? Sungguh, saya sendiri tidak mampu untuk menahan diri mem'browse' internet mencari lebih info tentang 'ethnic cleansing' juga penubuhan Israel raya yang sedang diusahakan Israel.


Saya sering diterjah persoalan demi persoalan, hakikat yang ada pada rancangan jahat yahudi. Mengapa begitu hilang nilai kemanusian sejagat demi kepentingan diri dan bangsa sendiri? Mengapa manusia boleh menjadi sebegitu hina dengan 'membaham' manusia yang lain yang lebih lemah dan tidak berupaya? Sungguh, adakah satu kejayaan menakluk dunia dengan menghapuskan manusia yang lain? Jauh di sudut hati saya, itu adalah kaedah manusia kuno dalam meluaskan kuasa dan pengaruh, atau, barangkali ketamadunan dan kemodenan yang tercapai tidak mampu mengubah pemikiran kuno ini? Sungguh, biar bertahun-tahun peradaban di bina manusia masih berfikiran lama yang sama. Munkin itu juga fitrah manusia yang tak dapat diubah.


Sekali lagi saya diserbu pertanyaan, apakah yang mampu kita lakukan dalam membantu warga dunia yang menjadi mangsa kegelojohon bangsa yang begitu angkuh itu? Adakah cukup sekadar melaksanakan boikot barangan mereka, sekaligus mengharap kejatuhan ekonomi mereka dapat merencatkan operasi ketenteraan mereka? Saya jadi ragu bila memikirkan sudah berapa lama kita menjadi pengguna setia barangan keluaran mereka dan sudah berapa lama mereka mengumpul kekayaan yang pastinya sukar tergugat dengan boikot beberapa hari yang kita lakukan. Itupun, hanya pada sesetengah barangan. Kita sudah lama rupanya ditipu dan dimanipulasi untuk menjadi penyumbang dalam projek kejam mereka. Maka, saya kira kita perlu buat sesuatu yang lebih dari itu demi menebus kesalahan dan kesilapan kita di masa lalu.


Persoalannya lagi, bagaimana? Kita masih tak mampu untuk bersatu dalam soal yang remeh-temeh. Inikan pula bergabung idea dan tenaga juga berkorban bersama-sama demi keamana dan kesejahteraan bersama. Pemikiran kita sudah lama dipesongkan. Tentu sukar untuk berfikir lurus bila jalan yang terbentan adalah bengkang-bengkok. Sungguh, seperti berapa lama pemikiran kita sedikit demi sedikit diracun, seperti itu jugalah waktu yang diperlukan untuk ia dirawat sebaiknya. Apa yang penting kita mahu dirawat, jika untuk menelan penawar sudah terasa begitu terbeban, selamanya kita akan terus dibelenggu dalam kesakitan yang bakal memusnahkan kita semua.

Saturday, January 17, 2009

politik kampus-sebuah sembang santai



Hari ini saya mahu menulis sedikit tentang politik. Lama sudah rasanya tidak berkomentar tentang topik ini. Kemelut politik negara yang tak pernah renggang dengan isu dan kontroversi buat saya muak dan bosan untuk terus mengikutinya. Barangkali ‘permainan orang dewasa yang keanak-anakan’ itu kurang sesuai dengan jiwa remaja saya yang semakin matang. Terlalu siniskah saya mengungkapnya, biarlah, bak kata orang tua-tua, siapa yang makan cili, dia yang terasa pedasnya. Moralnya, janganlah makan cili, kalau tak nak rasa pedas.



Berbalik kepada tajuk, saya menulis bukan kerana terlalu ghairah dan teruja dengan isu-isu politik ini, namun, hati kecil penulis saya jadi terusik bila mendengar bual bicara teman-teman sebaya yang membincangkan isu ini. Maka, rasa kepingin pula menjelma untuk menumpahkan tinta dan berkongsi cerita. Lupa pula mahu menjelaskan situasi yang telah mencetuskan bual bicara sebegitu rupa, ya, memang jarang sekali mahu mendengar pelajar-pelajar kita yang hidungnya hanya di buku, heboh berkata soal kempen dan pilihanraya. Barangkali kita silap perkiraan, mahasiswa/i kita juga sudah makin dewasa dan matang untuk berbicara soal hak dan keadilan, kezaliman dan penindasan. Jika itu benar, wawasan 2020 yang kita idam-idamkan itu pasti mampu direalisasikan.Oh, panjang sangat celoteh, lupa lagi menerangkan situasi, ketika ini musim pilihanraya kampus (PRK) sedang hangat berlangsung, sungguh, topik apa lagi yang lebih mengujakan untuk dibicarakan di kalangan mahasiswa/i?



Secara fizikalnya, inilah PRK paling tenang, walaupun saya hanya pernah lalui sekali saja PRK sebelum ini, jadi hanya dua situasi yang dapat dibuat perbandingan. Jadi antara yang lalu dan sekarang, sungguh, ia berbeza. Tiada lagi perang poster, banner, risalah manifesto dan sebagainya. Unik sekali pilihanraya ini, diminta mengundi namun tak mengenal calonnya. Bagaimanakah hak dapat ditunaikan? Aneh sekali pihak universiti mengajar mahasiswa/i tentang proses demokrasi dan kebebasan. Barangkali demokrasi itu miliki definisi baru yang diterjemah golongan-golongan cendekiawan pusat pengajian tinggi yang ulung ini. Harapnya dapat diserapkan dalam silibus Kenegaraan secepat mungkin, agar mahasiswa/i yang begitu tekun menimba ilmu di perigi universiti ini tidak keliru dan kebingungan untuk memahami konsep yang cuba disampaikan pihak universiti, bila ‘apa yang diajar, tidakserupa dibikin’.



Bukan mahu membela, menyokong, menolak mahupun menjatuhkan mana-mana pihak, baik pro-mahasiswa mahupun pro-aspirasi, kerana hakikatnya jiwa-jiwa golongan mahasiswa/i ini masih begitu suci dan murni untuk mengenal istilah perpecahan yang cuba dibawa golongan tua. Benarlah kata orang, sudah banyak makan garam, banyaklah penyakitnya. Maka generasi yang masih sihat bugar ini tidak mengira dari pihak mana pun anda, perjuangan anda yang akan diutamakan. Namun, perjuangan bagaimana itu? Saya sendiri kurang pasti kerana masih tak dapat ditonjolkan oleh sekatan dan halangan yang pelbagai.



Walaubagaimanapun, saya akui kesucian jiwa generasi ini baik dari bahagian mana pun ia, miliki nilai perjuangan yang sama. Namun, bila golongan yang berpenyakit tadi mula mendekati, jangkitan pun berlaku, kesucian akan ternoda dan wabak akan melanda. Sungguh, penyakit moral itu lebih bahaya dari serangan virus SARS. Manakan tidak, mengubah suhu badan adalah lebih mudah dari menukar persepsi insan.



Inilah dunia hari ini, akar umbi mana yang perlu diperiksa hingga kuntuman bunga tak lagi mekar mewangi dan buah tidak sempat masak ranum sudah gugur busuk di tanah. Hakikatnya, kita mengharap perubahan dan kemajuan, namun sikap keanak-anakan kita menjadikan kita kekal di peringkat yang sama biar usia terus meningkat. Sedih bukan, bila kita diminta menjadi patriotik tapi dalam masa yang sama taufan sentimen perkauman terus ditiup. Walauapapun, tiap ruang yang ada untuk berjuang perlu digunakan sebaiknya. Maka, biar faham atau tidak, tahu atau tidak, kenal atau tidak, laksanakanlah hak anda dan berusahalah untuk menggunakan hak yang kecil ini sebaik-baiknya. Sokonglah PRK....undilah demi masa depan yang kita idamkan............



Tuesday, January 13, 2009

Seminar Kemahiran Mahasiswa (SKEMA) UPM



Barangkali cuti yang terlalu lama menjadikan saya kurang bersemangat untuk menyertai program-program berciri islamik mahupun peningkatan diri. Namun, dengan niat menjaga hati sahabat juga bimbang dipandang serong teman-teman lain, saya kuatkan juga hati dan perasaan untuk menyertai Seminar Kemahiran Mahasiswa (SKEMA) UPM yang diadakan Ahad lalu, 11 Januari 2009 di Dewan Kuliah 12 Fak. Ekonomi dan Pengurusan, UPM.



Seminar yang dijadualkan bermula pukul 8 pagi, akhirnya bermula jam 9.30 pagi. Barangkali itu permainan pihak penganjur yang dapat menjangka kehadiran para peserta yang pastinya akan lewat. Lega juga kerana tidak terlalu mematuhi waktu seperti selalu, saya tiba di dewan tersebut pada jam 8.15 pagi.



Sementara menanti, saya ambil peluang itu bertukar-tukar cerita dengan sahabat-sahabat lain yang turut hadir. Agak teruja bila sudah lama tidak berjumpa lantaran cuti yang agak panjang. Selain itu, ada juga teman-teman yang baru, menarik sekali bila dapat berkongsi cerita dan pengalaman baru. Entah mengapa, tanpa saya sedari rasa berat hati dan lemah semangat yang saya rasakan sebelum itu semakin hilang. Mungkin saja kerana niat di hati para sahabat yang menganjurkan begitu tulus hingga berkesan di hati. Walauapapun puncanya, alhamdulillah.



Program bermula dengan ucaptama dan perasmian oleh Pak Cik Solehuddin bin Shuib, saya memang sentiasa senag dengan penyampaian Pak Cik Soleh, walaupun kebanyakan isi penyampaiannya lebih kepada satu tazkirah kerana saya rasa apa yang disampaikan sudah berkali=kali saya dengar. Namun ia masih membekas di hati. Kadang-kala ada rasa sebak menyelinap dalam jiwa dan saya seakan mahu menangi mengenangkan keterlampauan dan kesilapa-kesilapan yang telah saya lakukan. Sungguh, ucapannya membangkitkan keinsafan dan menyedarkan saya hakikat kehidupan yang sebenar. Dalam hati saya benar-benar bersyukur kerana Allah masih menguatkan langkah kaki saya walu hati saya begitu berat. Sungguh, maha suci Allah yang telah memilih saya menyertai seminar ini. Sekali lagi alhadulillah.



Setelah rehat, seminar bersambung dengan ceramah oleh Pak Cik Taib bin Pardi yang bertajuk Rahsia Mahasiswa Cemerlang. Saya tak pasti apa yang istimewanya dengan penyampaian Pak Cik Taib kali ini, tapi mata saya terus segar dan sesekali hati saya turut tersentuh. Apa yang pasti, Pak Cik Taib banyak mendedahkan tentang teknik-teknik belajar yang jarang saya ambil berat dan peduli. Namun, bila ditekankan oleh Pak Cik Taib saya jadi teruja untuk mencubanya. Mana tahu, ia akan jadi sangat berguna untuk pengajian saya dalam kursus kejuruteraan yang tak pernah jadi pilihan saya ini.



Alhamdulillah, sebelum azan zohor berkumandang, seminar ditamatkan dengan Kalimah Akhirah oleh Pak Cik Soleh sekali lagi. Sungguh saya benar-benar bersyukur menyertai seminar ini. Minggu depan akan diadakan SKEMA peringkat wilayah tengah di UKM, tanpa berfikir panjang saya mendaftarkan diri. Saya sedar apa yang akan saya dengar bukanlah perkara baru yang luar biasa. Namun, ingatan yang berulang-ulang itulah akan terus menguatkan hati untuk menempuh kehidupan dengan taklifan sebagai hamba dan khalifah dengan lebih berkesan.





Friday, January 9, 2009

The Study Just Started

I love study..=)


I'm not kidding, its true... thats the most thing that i really enjoy do it.. although sometimes very frustrated.. but, at the end i always want to study.. and that also the only things i could make it very well..yet..


I just started the first two week as bachelor student, although i'm not really interested in mathematic field but i enjoy all the subjects are taught by...of course the lab session are very fun..no microscope which always make my head dizzy and dissection of animals which make me feel to vomit always..


On the other hand i enjoy this course very much..although i stop learning chemistry and biology field and turn to physic which are never thinkable before..but this is all about fate..


I know, how much i need to work to be the excellent student..that my dream..and the important aim for the time being..hope to be a dean list...pray for me..


i will do the best..i promise...

Thursday, January 1, 2009

wELcoMe 2oo9 wITh nEW sPiriT



2009 is starting now. I just started my bachelor programme yesterday. A lot happen, since the day on registration. But, its fun. I got to stay in college 13, although to avoid that college is my main purpose to choose engineering course compare to others. But, its not really hard, its fun meeting all friends, talk and laugh together. But, i know we need to move, college 13 is too far from faculty and the very bad transportation, we really need to move to college 11. Its sad but we need to make it early before we got a lot more problems.


We got a presentation in the morning by Dr Norashikin if i’m not mistaken. But before that we went to class that not be held and actually we dont have to attend cause the organic chemistry subject we have the assumption. Quite funny, but its ok. About the presentation, may be interesting but a litte scary. I dont know, but, this course quite scared me. I dont know what i’m going to do, to be. To become an engineer is too far from what i’m thinking of myself in future. Sometimes, i did think about change the course. But what course i want to take? I’m actually dont know where i’m heading to. But, i’m pretend to not worry, pretend to be tough, pretend i’m just fine. Yup, i want to be like it, but its me, science, more technology and this machine knowledge is really not my interest. Working in industry, in factory, talking about engine and motor...what i’m really into...


But, i’m still envy. Yup, to all the lecturer and academic staff from Dr Norashikin presentation. They really good in their field. Continue their study from universities all over the world. The one i’m really sure, i really really want to be just like them. Yup, one day for sure, i want to leave this country and get new experience and knowledge abroad. In my mind, Japan is the most country i really want to go. Its keep remind me about Anuar, i know, i should be grateful, i’m not really know what to do, so, better late than regret.


A lot have to do as the new student. But, i really enjoy it. Hard in key in subject in registration, waiting bus under hot sunlight, run to the student affair department, disappointed when the counter is just close...a lot more..but, i really appreciate the moment...really, i have fun over all the obstacle and i have no regret.


However, its still new year. Only one day in faculty, i have the day off. How lucky i am. But, i know, its not easy in future. This is really tough course for me, till i really sure, compare to medical, engineering for me is more hard. But, what to say, i’m no interested at all to become a doctor. So, this is the path i choose. About the loan that i’m not really sure yet, i have to save or get some job, but, quite worry if its disturb my study.


Life is not easy, i’m not the one that easily surrender to fate. I will go on. In financial and academic as well. For initial, i want to stop dreaming and thinking about something that not important. My priority now is learning very well and less financial problems.


As reminding....


My Resolutions 1430 H / 2009 M

1. Write at least 6 short stories

2. Make a part time job

3. Start writing first novel

4. Stop say the word ‘malas’

5. Write entri in blog in malay at least once a week

6. Write entri in blog in english at least once a week

7. At least make 3.75 pointer in exam



HAPPY NEW YEAR 2009

WELCOME THE TWENTY YEARS OLD YOUNG LADY

LIVE IN A VERY GOOD LIFE

SOLVE ALL THE PROBLEMS

FORGET ALL THE PAST

LOOK FORWARD IN THE FUTURE