Kata orang, kita akan benar-benar menghargai sesuatu bila kita telah kehilangannya. Jika ia di depan mata, kita tak pernah mengendahkannya, apatah lagi menghargainya. Namun, bila ia sudah tiada barulah kita mahu mengenangnya dan sering merasa kesal dengannya. Mungkin itu fitrah manusia, menghargai pada yang tiada. Maka, sungguh manusia telah banyak membuang dan mempersia-siakan peluang yang ada.
Saya diajak seorang sahabat untuk bermalam di asrama anak yatim, di tengah kesibukan waktu sebagai pelajar untuk menyiapkan tugasan dan ujian yang bakal dihadapi, saya agak ragu-ragu untuk memenuhi ajakan itu. Namun, bila mengenangkan betapa kurangnya aktiviti kerohanian yang saya sertai sejak semester ini bermula, saya luangkan juga sedikit waktu saya pada malam itu. Saya pergi dengan berat hati, saat mengenangkan tugasan-tugasan yang masih belum diselesaikan.
Kami tiba dengan sambutan hangat oleh adik-adik di situ, saya bukanlah seorang yang terlalu sukakan anak-anak, apatah lagi untuk melayan mereka. Namun, saya senang bila kehadiran saya dapat mengukir senyum di wajah mereka. Lebih meriangkan bila mereka bertubi-tubi bertanya dan bercerita kepada saya. Saya hanya punya seorang adik lelaki yang muda dua tahun daripada saya, tak banyak yang dapat kami bualkan. Untuk memiliki adik perempuan memang sentiasa menjadi idaman. Lalu, bersama mereka sedikit menceriakan hati dan perasaan saya. Sehingga, saya lupa seketika soal tugasan yang belum selesai dan ulangkaji yang masih belum dilakukan.
Namun, tak banyak yang dapat saya bicarakan dengan mereka. Entah kerana tiada topik atau merasa sedikit kekok, saya sendiri tidak pasti. Tapi, itu bukan satu masalah, memerhati dan menemani mereka banyak menerbitkan keinsafan. Barangkali, itulah kata orang, kadang-kadang dari perkara-perkara kecil yang kita lakukan, dapat memberi impak yang besar dalam kehidupan kita.
Melihat senyuman dan keriangan mereka sering membuatkan saya tertanya apakah rahsia di sebalik senyuman itu? Tubuh mereka yang kecil, tingkah mereka yang kurang teratur, malah bicara dan ucapan yang sering terpesong membawa saya kepada diri saya saat sebaya dengan mereka. Sungguh, kami tak banyak berbeza. Saya juga seperti mereka. Benar, kami semua cuma kanak-kanak biasa.
Tapi, masih terdapat beza antara kami. Entah mengapa suara teguran dan marah mama yang sering tidak saya senangi terngiang-ngiang di telinga. Untuk menjadi manusia yang sempurna bukanlah kebolehan semulajadi setiap insan, ia perlu pada proses dan pendidikan. Dan proses itu kadang-kala menyakitkan, benarlah kata peribahasa, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.
Melihat mereka saya jadi sangat bersyukur, walau banyak yang kurang dalam hidup saya sekeluarga, saya lebih beruntung dari mereka. Sungguh, mana ada yang sempurna sebagai makhluk kerana hanya Allah yang Maha Kamil. Saya jatuh simpati dan kasihan pada mereka, saat itu saya cuma mampu berdoa agar tempat mereka tinggal sekarang dapat membantu mereka menjadi manusia yang lebih baik. Sungguh segalanya ada di tangan Tuhan, jika kata-Nya 'Jadilah, maka jadilah!'.
Saya tak pasti adakah mereka merasa, namun saya merasai, betapa saya menghargai kesabaran mama melayan kedegilan saya. Sungguh sukar untuk membentuk anak yang keras hati seperti saya. Walaubagaimanapun, Alhamdulillah, biarpun masih degil dan keras hati saya mejadi manusia yang lebih baik. Ya, terima kasih mama.
Walauapapun, saya cuma merasainya saat mama tiada. Bila pulang ke rumah, sukar rasanya menadah telinga mendengar bebelan mama. Mungkin itulah fitrahnya saya, 'menghargai saat tiada'.